Tahukah Anda bahwa hampir semua sapi yang dipelihara secara tradisional menderita cacingan? Dan ironisnya masih saja banyak orang yang memandang sebelah mata penyakit ini. Secara kasat mata, memang tidak semua sapi yang menderita cacingan terlihat sakit, tetapi rata-rata menunjukkan gejala kekurusan. Tingkat keparahan yang ditimbulkan oleh serangan parasit cacing pun tergantung pada jenis cacing, jumlah cacing yang menyerang, umur sapi yang terserang serta kondisi pakan.
Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, namun secara ekonomi dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar. Oleh karena itu tidak heran kalau penyakit cacingan ini sering disebut sebagai penyakit ekonomi. Lantas apa saja kerugian-kerugian ekonomi yang ditimbukan oleh penyakit cacingan pada sapi? Ternyata cukup banyak, mulai dari penurunan berat badan, terhambatnya pertumbuhan pada sapi muda, penurunan kualitas daging, kulit dan jeroan pada ternak potong, penurunan produksi susu pada ternak perah dan bahaya penularan pada manusia. Hasil suatu penelitian menyatakan bahwa kasus cacingan menyebabkan keterlambatan pertumbuhan berat badan per hari sebanyak 40% pada sapi potong dan penurunan produksi susu sebesar 15% pada sapi perah (Siregar, 2013).
Melihat fakta di atas, masihkah penyakit cacingan pada sapi dipandang sebelah mata? Sudah sepantasnya kita waspada terhadap serangan penyakit cacingan yang setiap saat selalu mengintai ternak sapi. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita mulai sedikit bernostalgia dengan penyakit yang sepanjang tahun 2012 lalu nyaris menduduki urutan paling teratas dalam hal laporan kejadian kasus di lapangan (Infovet, 2012).
Cacingan pada Sapi dan Agen Penyebabnya
Cacingan atau dalam kamus kedokteran dikenal dengan istilah helminthiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya infestasi cacing pada tubuh hewan, baik pada saluran percernaan, pernapasan, hati, maupun pada bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya infestasi cacing sering ditemukan pada saluran pencernaan dan hati.
Berdasarkan bentuknya, jenis cacing yang dapat menyerang sapi dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu cacing gilig (Nematoda), cacing pita (Cestoda) dan cacing daun atau cacing hati (Trematoda).
Sesuai dengan namanya, cacing gilig memiliki bentuk tubuh yang bulat seperti pipa dengan kedua ujungnya yang meruncing. Sebagian besar cacing ini memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil. Beberapa spesies yang dapat menyerang ternak sapi di antaranya Toxocara vitulorum, Oesophagostomum radiatum,Agryostomum vryburgi, Bunostomum phlebotomum, Trichostrongylus spp., Nematodirus spp., Cooperia spp., Ostertagia ostertagi, Haemonchus placei dan Mecistocirrus digitatus.
Namun, dari beberapa spesies tersebut yang paling sering ditemukan kasusnya terutama pada pedet (sapi muda) yaitu spesies Toxocara vitulorum yang penyakitnya dikenal dengan istilah toxocariasis. Cacing yang dikenal juga dengan Neoascaris vitulorum ini habitatnya di dalam usus halus sapi dan berukuran paling besar dibandingkan spesies nematoda lainnya. Cacing jantan berukuran 250 x 5 mm, sedangkan betinanya 300 x 6 mm. Telur cacing T. vitulorum berbentuk bulat dan memiliki ciri khas dinding telur yang tebal.
Kasus toxocariasis dimulai dengan termakannya feses yang mengandung telur cacing T. vitulorum oleh sapi. Selanjutnya telur akan menetas di usus halus dan menjadi larva. Larva kemudian dapat bermigrasi (pindah) ke hati, paru-paru, jantung, ginjal, bahkan plasenta dan masuk ke cairan amnion (ketuban) serta ke dalam kelenjar ambing dan keluar bersama kolostrum. Kolostrum yang diminum oleh pedet akan menjadi sumber penularan cacing T. vitulorum. Sementara, larva yang tetap berada dalam usus akan berkembang menjadi cacing dewasa dan selanjutnya menghasilkan telur yang bisa ikut terbuang bersama feses sapi.
Dilihat dari siklus hidupnya, maka penularan kasus toxocariasis pada sapi dapat terjadi melalui pakan atau air yang terkontaminasi oleh telur maupun larva cacing dan melalui kolostrum yang mengandung larva cacing.
Jenis cacing pita yang dapat menyerang sapi ialah spesies Taenia sp., Moniezia sp. dan Echinococcus granulosus. Dari ketiga cacing tersebut, hanya spesies Moniezia sp. yang hidup sampai dewasa dalam tubuh sapi. Namun, serangan cacing pita yang paling umum ditemukan pada sapi terutama oleh genusTaenia, yaitu Taenia saginata.
Serangan cacing pita ini tidak berbahaya bagi ternak sapi itu sendiri karena dalam tubuh sapi telur cacing yang termakan bersama rumput hanya berkembang sampai fase larva. Larva cacing T. saginata yang berada dalam usus sapi selanjutnya akan menembus pembuluh darah dan ikut bersama aliran darah hingga sampai di otot. Selanjutnya, manusia perlu waspada terhadap serangan cacing pita ini, karena larva yang termakan dari daging sapi mentah atau yang dimasak kurang matang dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus halus manusia. Cacing pita dewasa akan menyerap sari-sari makanan dalam usus dan dapat menyebabkan penyumbatan usus.
Panjang cacing T. saginata dewasa berkisar antara 4-8 meter dan terdiri atas segmen-segmen yang disebut proglotida. Proglotida yang telah matang, atau disebut juga proglotida gravid, pada cacing dewasa berisi alat reproduksi jantan dan betina serta puluhan ribu telur. Bisa dibayangkan betapa banyaknya telur yang dihasilkan oleh 1 ekor cacing pita dewasa yang selanjutnya siap masuk kembali kedalam tubuh sapi untuk berkembang menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh manusia.
Kasus cacingan pada sapi akibat cacing hati (Fasciola sp.) cukup banyak dan sudah tak asing lagi dijumpai di lapangan. Kejadiannya terutama banyak dilaporkan pada saat perayaan Idul Adha, dimana pada waktu tersebut banyak orang yang melakukan penyembelihan hewan kurban khususnya sapi. Terdapat 2 spesies yang cukup penting di dunia, yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Namun, spesies yang paling sering ditemukan pada sapi di Indonesia yaitu F. gigantica. Secara umum, cacing hati berbentuk gepeng atau pipih seperti daun, namun untuk spesies F. gigantica tubuhnya lebih memanjang dibandingkan F. hepatica. Sesuai dengan namanya cacing hati berhabitat di hati dan saluran empedu. Infestasi cacing ini dikenal dengan istilah fasciolosis.
Siklus hidup cacing F. gigantica dimulai saat cacing dewasa yang berada di hati dan saluran empedu mengeluarkan telurnya. Telur cacing ini kemudian masuk ke dalam usus halus bagian duodenum bersama cairan empedu dan selanjutnya dikeluarkan bersama feses. Di luar tubuh sapi, telur berkembang menjadi mirasidium. Untuk berkembang ke fase berikutnya, mirasidium memerlukan inang antara, yaitu siput mudaLymnaea rubiginosa.
Di dalam tubuh siput, mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria. Selanjutnya serkaria yang memiliki kemampuan berenang akan keluar dari tubuh siput. Setelah menemukan tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Kista dapat berada dalam air maupun menempel pada tanaman. Selanjutnya, air dan tanaman yang mengandung kista ini akan menjadi media penularan bagi ternak sapi lainnya jika termakan.
Faktor Predisposisi (Pemicu) Cacingan
Kasus cacingan yang terjadi pada sapi disinyalir dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menjadi predisposisi (pemicu) penyakit tersebut. Faktor-faktor tersebut di antaranya umur, musim atau kondisi lingkungan, keberadaan vektor (inang antara) dan metode pemeliharaan.
Jika dilihat dari umur serangannya, kasus cacingan pada sapi dapat menyerang semua umur. Namun, berdasarkan jumlah kasus yang terjadi di lapangan, pedet cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap kasus cacingan. Pedet lebih rentan terserang penyakit cacingan karena memiliki daya tahan tubuh yang belum optimal.
- Musim atau kondisi lingkungan
Kasus cacingan terutama sering ditemukan pada saat musim hujan atau kondisi lingkungan lembab dan basah yang umumnya disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Kondisi tersebut menjadi media yang cocok untuk perkembangan telur cacing menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh sapi.
Pada peternakan sapi skala kecil, umumnya sanitasi atau kebersihan kandang masih sangat minim, sehingga kandang lebih sering dalam kondisi yang kotor dan becek. Oleh karena itu, besar kemungkinannya sapi yang dipelihara dalam kandang seperti ini terserang cacingan.
- Keberadaan vektor (inang antara)
Beberapa jenis cacing yang menyerang sapi membutuhkan inang antara seperti siput air tawar dalam siklus hidupnya. Pada kondisi yang lembab, hewan ini mampu hidup dan berkembang biak dengan sangat baik. Maka tak heran pada saat musim hujan siput air tawar ini sering kita jumpai karena populasinya yang bertambah banyak. Apabila dikaitkan dengan kasus cacingan pada sapi, kondisi ini tentu saja dapat meningkatkan resiko serangan parasit cacing pada ternak sapi.
Jika ditinjau dari metode pemeliharaannya, sapi yang dipelihara dengan sistem tradisional (ekstensif) lebih beresiko terserang penyakit cacingan dibandingkan dengan sapi yang dipelihara dengan sistem yang lebih modern (intensif). Pada pemeliharaan dengan sistem ekstensif, sapi dibiarkan bebas merumput atau mencari makan sendiri di lahan penggembalaan. Padahal tidak jarang tempat-tempat yang dijadikan sebagai lahan penggembalaan tersebut telah terkontaminasi telur atau larva cacing. Sedangkan pada pemeliharaan dengan sistem intensif, sapi sepanjang hari dikandangkan dan pakan diberikan pada waktu tertentu oleh pemilik ternak. Hal ini tentu saja dapat mengurangi resiko sapi untuk kontak dengan telur maupun larva cacing.
Gejala Klinis dan Perubahan Organ (Patologi Anatomi)
Kasus cacingan pada ternak sapi umumnya berjalan secara kronis (dalam waktu yang lama), sehingga pada awal serangan gejalanya sulit untuk diamati. Secara umum sapi yang terserang cacingan badannya kurus, bulu kusam dan berdiri, mengalami diare atau bahkan konstipasi (sulit buang air besar), nafsu makan menurun dan terkadang mengalami anemia.
Berdasarkan kasus yang dilaporkan di lapangan, pedet sapi yang menderita toxocariasis menunjukkan gejala diare dan badannya menjadi sangat kurus. Pernah dilaporkan juga bahwa kasus toxocariasis pada pedet dapat menyebabkan kematian. Pedet yang bertahan hidup biasanya akan mengalami gangguan pertumbuhan. Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada pedet yang mati akibat serangan toxocariasis adalah terjadinya peradangan pada saluran percernaan usus halus.
Sapi dewasa yang terserang toxocariasis umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas. Hanya saja, infestasi cacing T. vitulorum pada sapi perah biasanya akan menurunkan kualitas susu karena mengandung larva cacing ini.
Sementara pada kasus fasciolosis, sering dilaporkan ternak sapi mengalami gangguan pencernaan berupa konstipasi dengan feses yang kering. Pada kasus yang sudah parah, seringkali sapi menunjukkan gejala diare, pertumbuhan yang terhambat bahkan terjadi penurunan produktivitas. Apabila ternak sapi dipotong, dapat kita amati adanya perubahan patologi anatomi terutama pada organ hati. Pada kasus akut (kasus penyakit berjalan singkat) akan ditemui adanya pembendungan dan pembengkakkan hati, permukaan hati biasanya akan mengalami perdarahan titik (ptechie) serta kantong empedu dan usus mengandung darah. Sementara pada kasus kronis, biasanya terjadi penebalan dinding saluran empedu dan pengerasan jaringan hati (serosis hati). Pada saluran empedu biasanya dapat ditemukan parasit cacing bahkan seringkali terdapat batu empedu.
Cara Mendiagnosa Cacingan pada Sapi
Salah satu problem tidak teridentifikasinya kasus cacingan pada sapi yaitu akibat minimnya gejala klinis yang dapat teramati. Bahkan pada kasus cacingan yang masih awal, sapi biasanya masih terlihat sehat tanpa menunjukkan adanya gejala klinis. Selain itu, gejala klinis yang muncul pada kasus cacingan pun merupakan gejala yang sangat umum sehingga kadang masih menyulitkan untuk mengarahkan diagnosa. Terkecuali jika kasus cacingan sudah sangat parah, maka dapat kita temukan adanya cacing dewasa pada feses sapi, terutama untuk cacing yang menyerang saluran pencernaan.
Untuk membantu meneguhkan diagnosa cacingan pada sapi dapat dilakukan melalui uji laboratorium, yaitu uji feses. Pemeriksaan atau uji feses bertujuan untuk mengetahui keberadaan telur cacing secara kualitatif maupun kuantitatif. Selain keberadaan telur, pada feses juga dapat ditemukan keberadaan larva cacing. Lebih jauh lagi, pada uji feses ini dapat diidentifikasi jenis cacing yang menyerang berdasarkan karakteristik telur yang ditemukan. Melalui uji ini juga kasus cacingan pada sapi dapat diidentifikasi sejak dini sehingga pengobatannya pun akan relatif lebih mudah dan kerugian ekonomi yang lebih besar dapat diminimalkan.
Pengendalian dan Penanganan Cacingan
Pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu memutus siklus hidup dari parasit cacing tersebut. Cara ini dianggap cukup murah dan sangat efektif untuk memberantas kasus cacingan pada sapi yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi di antaranya :
- Program pemberian anthelmintika (obat cacing)
Pemberian anthelmintika merupakan langkah utama dalam upaya pengendalian dan penanganan cacingan baik pada pedet maupun sapi dewasa. Pemberian anthelmintika sebaiknya tidak hanya dilakukan pada ternak sapi yang telah dipastikan positif cacingan mengingat hampir sebagian besar sapi terutama yang dipelihara secara tradisional menderita cacingan. Program pemberian anthelmintika sebaiknya dilakukan sejak masih pedet (umur 7 hari) dan diulang secara berkala setiap 3-4 bulan sekali guna membasmi cacing secara tuntas dan memutus siklus hidup parasit tersebut (Agrina, 2011).
Beberapa produk anthelmintika dapat digunakan untuk memberantas cacing gilig pada sapi yaitu Nemasol-K, Vermizyn SBK, Wormectin Injeksi dan Wormzol-B. Produk Wormzol-B selain efektif untuk semua stadium cacing gilig, dapat juga digunakan untuk memberantas cacing pita dan cacing hati dewasa pada sapi.
- Sanitasi kandang dan lingkungan
Kasus cacingan pada sapi akan menjadi lebih sulit diberantas jika tidak ditunjang dengan sanitasi kandang dan lingkungan yang baik. Upaya yang dapat dilakukan di antaranya menjaga drainase kandang dan lingkungan di sekitarnya sehingga tidak lembab dan becek serta menghindari adanya kubangan-kubangan air pada tanah. Selain itu, tanaman dan rumput-rumput liar di sekitar kadang dibersihkan serta melakukan desinfeksi kandang secara rutin menggunakan Antisep, Neo Antisep, Formades atau Sporades.
- Sistem penggembalaan dan pemberian rumput
Saat menggembalakan sapi, sebaiknya hindari tempat-tempat penggembalaan yang becek dan padang rumput yang diberi pupuk kandang tanpa diketahui dengan jelas asal usulnya. Selain itu, ternak sapi sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing biasanya dominan berada di permukaan rumput yang masih basah. Guna memutus siklus hidup cacing, sebaiknya sistem penggembalaan dilakukan secara bergilir. Artinya sapi tidak terus-menerus digembalakan di tempat yang sama. Pada padang penggembalaan juga dapat ditaburkan copper sulphate untuk mencegah perkembangan larva cacing hati. Untuk sapi yang dipelihara secara intensif, pemberian rumput segar sangat tidak dianjurkan. Sebaiknya rumput dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan pada sapi guna menghindari termakannya larva cacing yang menempel pada rumput.
Mengingat beberapa spesies cacing membutuhkan inang antara seperti siput air tawar untuk kelangsungan hidup cacing hati, maka populasinya menjadi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian dan penanganan kasus cacingan. Populasi siput air tawar dapat dikurangi dengan cara memelihara itik atau bebek yang berperan sebagai predator alami inang antara tersebut. Selain itu, lingkungan harus dijaga supaya tidak terlalu lembab dan basah karena kondisi tersebut sangat baik untuk kelangsungan hidup siput air tawar.
Percaya atau tidak, bahwa kualitas pakan mempengaruhi tingkat kejadian cacingan pada ternak sapi. Kualitas pakan, baik rumput maupun konsentrat, yang baik dapat membantu meningkatkan daya tahan ternak sapi karena nutrisi yang diperlukan tercukupi.
- Monitoring telur dan larva cacing
Sebagaimana kita ketahui bahwa penularan kasus cacingan sangat mudah terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposisi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya monitoring secara rutin (2-3 bulan sekali) terhadap telur dan larva cacing melalui uji feses. Untuk menunjang hal tersebut, saat ini Medion telah memiliki laboratorium yang dapat melayani uji tersebut, yaitu MediLab yang telah tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.
Upaya pengendalian dan penanganan cacingan ini sebenarnya sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh semua kalangan peternak. Namun, untuk menunjang hal ini diperlukan sebuah komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak bahwa upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Jika kedua modal utama tersebut hanya dimiliki oleh sebagian peternak, maka dapat kita ramalkan tingkat keberhasilan pun menjadi lebih kecil.
Dari seluruh bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit cacingan telah menjadi penyakit ekonomi yang menimbulkan kerugian cukup besar. Guna mengatasi kasusnya yang terus berulang diperlukan pengendalian dan penanganan dengan memutus siklus hidup cacing yang sifatnya berkelanjutan dengan ditunjang oleh komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak. Salam.
Artikel bersumber dari Info Medion Online (http://info.medion.co.id).
|
0 komentar:
Post a Comment